Selasa, 13 Januari 2009

Tuhan Dimana…

By: Iwan Firman Widiyanto, M.Th.



Tiba-tiba suara suara itu datang

Tak diundang

Memaksa

Untuk

Didengar

Dan

Diperhatikan

Sangat pelan

gruduggruduggruduggrudug

Pelan

GrudugGrudugGrudugGrudug

…………………………………

Ah kereta Api sepagi ini ?

……………………………….

Sedikit keras

GruDUGGruDUGGru DUGGruDUG

Lho…Eh..Lho..Eh

Kereta api kok nyasar ke kamar ?!

Keras

GRUDUG! GRUDUG! GRUDUG! GRUDUG!

Matakupun tak bisa berlama-lama menutup diri

Meski kehangatanmu memanja jiwa yang lelap

Saraf reflek bergerak menebak bahaya

Aku melompat menuju daun pintu

………………………………….

Suangat Kueras, Swear dech!!

GRUDUG!! GRUDUG!! GRUDUG!! GRUDUG!!

Daun pintu terkunci, bergetar, bergoyang, berbayang

Kucoba raih

Gagal

Kucoba

Terus

Lebih fokus

Dan

Klek

Terbuka

Melompat keluar

GROMBYANG!!

PRANG !!

GEDEBUG!!

BEG!!

……………………

GRUDUG!! GRUDUG!! GRUDUG!!

Oh, motorku ‘njempalek’1

Aku lompati motorku

Dan

Keluar

Gempa…………gempa……….gempa……….

Bersahut-sahutan bak iringan kematian


Yogyakarta, Sabtu, 27 Mei 2006

Jam 05.45 WIB


Bumi bergoyang seperti kapal terhempas ombak. Orang-orang berhamburan bagai semut berpendar karena sarang yang dikoyak tangan nakal. Aku lihat Aka, temanku itu, sudah keluar dari kamarnya. Hatiku lega melihatnya, karena masih punya kesempatan mengakalinya. Ibu kos menangis, wajahnya pucat pasi. Ia berjalan mondar-mandir melihat bangunan rumahnya retak-retak. Tak henti-henti mulutnya berkomat-kamit. Bukan mantra pengusir gempa namun keluhan yang membahana surga. ”Duh Gusti, Piye kok isa ngene...Apa salah saya, apa dosa saya.......” ”Terus piye....Siapa yang akan membangun rumah ini”


Ibu kos layak gresula seperti itu. Masalahnya ia hidup hanya dari tiga kamar kos dan sebuah warung kelontong kecil. Dengan penghasilan itu Ia harus menopang lima orang jiwa yang ada di rumahnya. Yaitu Ia sendiri dengan suaminya, seorang anak perempuannya dengan bocah laki-laki kecil yang ditinggal ayahnya merantau ke pulau di seberang lautan tempat matahari terbenam, serta gadis perawannya yang baru lulus SMA. Memang ada tambahan penghasilan dari pensiunan suami sebagai mantan pegawai bengkel kereta api. Namun untuk perbaikan rumah penghasilan tersebut jelas masih sangat kurang. Satu-satunya jalan ia hanya bisa berharap pada anak-anaknya yang telah mengembara di kota-kota besar. Tapi toh anak-anaknya tersebut juga hidup pas-pasan dengan beban keluarganya masing-masing.


Aku tidak tahu bagaimana tanggapan Tuhan atas keluhan si Ibu kos dengan kondisi yang semacam itu.

Mungkin Tuhan di Surga sedang duduk di tahta

Membungkuk sambil manggut-manggut mengusap jenggot

Bak menonton program Reality Show dengan adegan dramatis di Bumi

Yang memasarkan dagangan Emosi dan penderitaan jiwa-jiwa

Ataukah

Tuhan justru ada diantara kita manusia

Kepalanya bocor tertimpa batu bata

Sehingga Shock dan tidak bisa berkata-kata

Tuhan gegar otak ?

Aku hanya berharap mudah-mudahan saja Tuhan tidak koma


Tiba-tiba seorang laki-laki berlari dari jalan besar menelusuri gang di depan kos kami. Ia berteriak ”Tsunami, ada tsunami...” Lalu orang-orang serempak bertanya satu dengan yang lain ” Dimana ada tsunami..dimana....?” Orang lainnya menyahut ”Di kota....di kota, banyak orang berlarian dari arah selatan menuju utara” seketika itu tubuhku bergidik kencang. Ibu Kos semakin panik. ”Pak...piye iki pak, ayo cepat mengungsi”. Bapak kos pucat pasi, namun tetap mencoba untuk bersikap tenang. ”Sudah sana cepat kalau mau mengungsi. Uwis ora apa-apa. Bapak akan tetap disini. Kalau memang harus mati ya sudah, kehendak Tuhan” Dengan berurai air mata Ibu Kos berkata ”Ayo pak..Nek di kandani kok ngeyel ! Puteri ! ayo cepat siap-siap, kita harus segera mengungsi” Saat itu para tetangga beserta dengan keluarganya sudah bergegas hendak mengungsi. Mereka membawa barang apapun juga yang dapat dibawa.


Aku tak habis pikir, bagaimana mungkin tsunami dapat mencapai kota. Padahal jarak pantai selatan dengan pusat kota kurang lebih sekitar 25-30 km. Kalaupun terjadi tsunami maka air dari pantai selatan harus mampu menenggelamkan perbukitan kecil di sebelah utaranya sebelum mencapai pusat kota. Kalau hal itu sampai terjadi, yah...kiamat. Pikiranku berkecamuk. Penasaran mendesak-desak kesadaran, membuatku berkeputusan untuk membuktikan isu bencana tsunami. Lalu Aku berteriak pada Aka ”Ka, yuk kita lihat situasi sekitar. Sampai dimana tho airnya...” ”Ya cepat gun..” Sahut Aka


Setelah pamit dengan Bapak dan Ibu kos Aku dan Aka berboncengan menuju kota. Di sepanjang jalan berbondong-bondong massa menuju arah utara. Seperti sebuah kampanye partai. Namun wajah-wajah mereka adalah wajah kecemasan. Ada seorang Bapak dengan seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun duduk di bagian depan sepeda motor. Seorang anak lagi tiga tahun lebih besar, seorang perempuan, di tengah antara Ia dan Istrinya yang menggendong seorang bayi dengan selendang. Di samping kanan dan kiri motor bergelantungan tas yang berisi pakaian dan peralatan sehari-hari untuk mengungsi. Anak yang berada di bagian depan membawa guling dan bantal masing-masing satu buah. Saya jadi ingat ketika pindahan kos dengan Aka. Duh betapa repotnya...

Banyak juga yang membawa mobil penuh dengan perabotan, di kap atas dimuati kasur dan segala peralatannya. Ada juga seorang laki-laki yang mengayuh becak mengungsi dengan keluarganya. Istrinya, matanya sembab..merah...


Teganya Kau gempa...Membuat matanya merah sembab berurai air mata

Tidak tahukah kau bahwa Ia sudah terlalu sering menangis

berjuang mengepulkan asap dapur

agar anaknya lebih panjang umur melihat dunia

Kesedihan yang tak berbatas...


ada yang naik sepeda, tapi ada juga yang jalan kaki. Tubuh mereka lusuh nampak kalau baru bangun tidur langsung bergegas pergi. Tak sempat mempercantik diri.


Di perempatan jalan Solo, di depan Galleria Mall, di samping rumah sakit Bethesda jalanan macet. Dua petugas polisi kerepotan mengatur lalu lintas. Polisi itu berteriak keras kepada setiap orang yang lewat ”Tidak ada tsunami, tidak ada tsunami...itu hanya isu !” Seakan dia tak peduli apakah suara gagahnya didengar orang atau tidak oleh sebab riuhnya suara-suara massa.


Aku dan Aka terus menuju arah selatan melawan arus massa. Melewati lempuyangan terus ambil arah ke timur dan selanjutnya ke selatan lagi. Di sepanjang jalan kami lihat kedahsyatan alam melawan peradaban. Aku lihat kerumunan pejalan kaki, masing-masing dengan sanak kerabatnya. Ku lihat nenek-nenek tua kepalanya bocor bersimbah darah duduk di atas bak sebuah truk untuk mengungsi. Lamat-lamat dari kejauhan Aku melihat mayat-mayat yang ditata rapi di depan sebuah masjid. Oh seperti barisan mayat ! Mayat-mayat itu ditutupi kerudung seadanya. Ada yang ditutupi kain selimut, jarik, pakaian dan sebagainya. Ada seorang Ibu yang menangis histeris sambil berjalan di samping jasad seorang laki laki yang digotong oleh beberapa orang. Barangkali itu adalah suaminya yang mati. Jasad lelaki itu dipenuhi dengan debu tanah berwarna keputihan, nampaknya dia baru saja diangkat dari reruntuhan. Ada sedikit bercak darah karena luka memar di pelipisnya. Matanya menutup, wajahnya terlihat tenang...


Engkau bahagia sekarang...Lebih bahagia daripada segala yang hidup

Apakah Engkau masih bisa bahagia jika melihat istrimu jadi gila

Apakah engkau masih bahagia jika melihat anak-anakmu yang membeku

karena lapar dan dingin bersahabat di bawah atap tenda seadanya

beralaskan gombal-gombal pengelap luka


Aku sudah tidak tahu lagi di mana posisi kami sekarang. Aku lewati sebuah pasar di sekitar Imogiri yang hancur luluh. Kulihat beberapa orang pemiliknya mengais barang dagangan yang bisa diselamatkan. Lalu Aku dan Aka masuk ke sebuah gang kampung. Bulu kuduk terasa berdiri. Hati menjadi kelu. Kulihat rumah-rumah porak-poranda. Para pemiliknya duduk-duduk dan ada yang berbaring karena sakit di sepanjang jalan gang yang kami lewati. Akhirnya kami menghentikan laju motor karena tidak bisa meneruskan perjalanan di gang yang penuh sesak dengan pengungsi. Kami berbalik menuju jalan utama. Meneruskan perjalanan ke selatan....terus ke selatan, seperti ada yang menuntun kami kesana ...ada apa dengan selatan...batinku.


Ku lihat orang-orang lebih suka bergerombol, duduk-duduk di tanah, di pinggiran sawah atau di lapangan sepakbola. Banyak juga yang mendirikan tenda sementara di dataran yang lebih tinggi. Gempa masih sering datang meski kekuatannya semakin mengecil. Namun cukup membuat orang panik. Kadang-kadang Aku lihat kerumunan orang berpendar sambil berteriak-teriak. Itu tandanya gempa sedang terjadi lagi. Aku dan Aka tidak begitu merasakannya karena kami berada di atas kendaraan yang terus melaju. Setelah melewati daerah Imogiri kami terus ke selatan hingga menembus jalan Parangtritis di sebelah selatan jembatan yang sangat panjang.


Keingintahuan kami nampaknya mengalahkan segala rasa takut yang ada dalam diri. Di jalan kami berdiskusi memprediksi jumlah korban seluruhnya. Ya saat itu kami sudah memprediksi sekitar ribuan orang di seluruh jogja yang mati karena gempa melihat kerusakan yang parah di Imogiri dan sekitarnya.


Jalan Parangtritis nampak lenggang. Barangkali orang-orang telah berlari menyelamatkan diri ke utara. Namun kami melihat kerumunan massa di lereng-lereng bukit, di sebelah timur jalan raya. Rumah-rumah di sekitar jalan Parangtritis ke arah selatan nampaknya tidak mengalami kerusakan yang parah. Ya...paling-paling genteng yang melorot dari tempatnya.


Ketika kami sampai di tempat wisata pantai Parangtritis, suasana yang lenggangpun semakin terasa. Hanya terlihat satu dua orang duduk-duduk menjaga warungnya. Namun secara umum warung-warung atau kios-kios cenderamata yang biasanya ramai sekarang tutup. Bangunan disanapun nampak biasa saja, seolah tidak terpengaruh oleh gempa. Aku lihat satu dua bangunan yang gentengnya sedikit bergeser. Yah...seperti tidak terjadi apa-apa namun memang sepi. Aku dan Aka mulai memasuki jalan berpasir menuju pantai. Kami melihat jam tangan menunjuk pukul 8 pagi. Matahari sudah menyengat disana. Aku parkir motor dan berjalan kaki menuju gubuk-gubuk yang biasanya untuk berjualan. Semua warung yang ada di situ tutup, sepi. Di pantai yang biasanya penuh dengan wisatawan sekarang hanya beberapa orang saja, dapat dihitung dengan jari. Barangkali mereka adalah jenis yang sama dengan kami, jenis para petualang, pemburu jawaban atas hasrat keingintahuan. Beberapa dari mereka membawa kamera photo. Jepret sana jepret sini. Gubuk-gubuk terlihat masih utuh. Lalu Aku mendekati seorang lelaki muda yang duduk menghadap pantai. ”Sudah dari tadi mas...” tanyaku. ”Nggak... barusan saja. Kata orang tadi pagi disini sudah ramai dengan wisatawan, namun tiba-tiba airnya pasang sedikit. Orang-orang panik. Setelah pasang beberapa menit kemudian terjadilah gempa. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Mereka yang di hotel langsung saja Chek out. Para pedagang juga segera menutup dagangannya. Pokoknya mereka melarikan diri. Takut bencana Tsunami datang seperti kejadian di Aceh” Demikian lelaki itu menjelaskan.

Kenapa Sayang...Kenapa Engkau marah...

Atau Kau hanya sekedar ingin bersenang-senang

Mana yang benar sayang

Geliatmu sangat mahal harganya

Tarianmu mengeringkan air mata

Wahai juwitaku tenanglah kau terlihat lebih cantik kalau diam

Engkau lebih menyenangkan jika menjadi puteri tidur sepanjang masa

Dengarlah rayuanku nikmatilah suara merduku

Kan ku elus tubuh sintalmu supaya engkau tetap terlelap


Setelah berterima kasih atas infonya Aku menuju bibir pantai. Membungkuk, mengoleskan jari di garis batas bekas air pasang. Garis tepi itu memanjang membelah pantai dari timur hingga barat. Dari garis itu dapat diperkirakan air menuju daratan sejauh lima puluh meter. Lalu ku lempar pandanganku diantara ombak yang bergolak. Menyisir ke bagian sebelah timur. Kulihat lelaki kekar, seorang diri, kulitnya hitam mengkilap dihantam mentari, bertelanjang bulat berjalan kearah lautan. Dia berteriak-teriak seperti hendak menantang penguasa samodra yang bersembunyi diantara gulungan ombak. Lalu dia mandi di semburannya, seakan bergulat menghabiskan amarah dan dendam. Setelah puas Ia berjalan menuju daratan, menghampiri motornya. Dan mengenakan pakaiannya.


Mungkinkah Ia salah seorang yang terluka hatinya olehmu puteri...gempa ?


Aku dan Aka melanjutkan perjalanan pulang ke jogja melewati sepanjang jalan Parangtritis. Lima belas kilometer dari pantai mulai tampak pemandangan yang tidak berbeda dengan di Imogiri. Mayat-mayat di jejer di tepi sawah. Rumah-rumah hancur berantakan. Orang-orang duduk-duduk seadanya di pinggir jalan. Darah segar masih sangat jelas menghiasi tubuh. Sebuah bangunan badan keuangan daerah yang kelihatan kokoh atapnya miring sekitar 45 derajad. Dari jalan genting atap Gedung Institut Seni Indonesia porak poranda. Kemudian memasuki pojok Beteng Kidul, di sebelah kanan jalan, bangunan bertingkat Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kerjasama Yogyakarta retak parah. Jikalau ada sekali lagi gempa dengan kekuatan yang sama pastilah gedung itu rubuh dengan tanah. Orang-orang tertegun menyaksikan kehancuran yang dahsyat.

Di sepanjang jalan lokasi kerusakan seperti meloncat-loncat. Kadangkala sekelompok bangunan di sebelah kiri jalan hancur, namun bangunan di seberangnya aman-aman saja atau sebaliknya dan seterusnya. Barangkali hal itu dikarenakan oleh jalur patahan di dalam tanah tidak teratur.

Dari dalam sebuah mobil, terdengar pengumuman yang dilontarkan oleh seseorang dengan memakai corong speaker ”Bapak/Ibu tidak usah ke Rumah Sakit karena disana sudah tidak sanggup menampung pasien lagi”. Wah betapa banyaknya korban yang berjatuhan akibat gempa ini, Sehingga rumah sakitpun sudah tidak sanggup menampung. Bagiku ini pengalaman pertama menghadapi bencana yang tidak akan terlupakan.


Selanjutnya Aku dan Aka menuju rumah sakit Bethesda. Bukan main...rumah sakit telah menjadi laksana pasar. Ramai sekali. Para korban gempa dibaringkan berjejeran di ruang parkir yang berlantaikan paving. Kamar-kamar di rumah sakit itu sudah penuh. Pemandangan yang sangat mengharukan. Seorang nenek tua terluka kepalanya. Ia terbaring menengadah ke langit, tatapannya kosong, nafasnya tersendat-sendat, tak berdaya, pasrah...Ia ditunggui oleh seorang cucu laki-lakinya, yang memijat-mijat ringan kaki-kaki rentanya. Disisi yang lain seorang Ibu menggendong bayi kecilnya, duduk termenung, air matanya telah mengering, barangkali sudah dihabiskan oleh tangisan tiada tara, tadi pagi waktu suaminya mati. Pundaknya memar, bercak darah merah kehitaman, darah beku, menggumpal di antara lukanya. Di sisinya mayat seorang lelaki. Wajah hingga dada ditutup kertas koran. Itulah sang suami yang membuat hatinyanya teriris-iris.


Oh..Penderitaan...


Beberapa perawat dibantu dengan mahasiwa/i keperawatan berpencar menolong mengurangi kesakitan korban. Mereka memberi suntikan penenang, menginfus, membalut luka, dan sebagainya.


Tangan-tangan trampilmu membawa cinta

Kasihmu kan dicatat di buku zaman

Tidakkah Kau tahu siapa yang kau sentuh lukanya...

Niscaya kau akan bahagia jika mengenalNya


Batinku tersiksa...Apa yang dapat kulakukan ? Hingga Ia menuntunku pada jalanNya...


Tuhan Dimana...

JawabNya, ”Aku diantara yang terluka”

Mengapa ada gempa..mengapa ada tangisan...mengapa ada kesedihan...

Mengapa ada pembantaian besar-besaran...Mengapa ada...

Dimanakah kebahagiaan...

Tuhan Diam

...

Hanya tanganNya membalut yang terluka






Tidak ada komentar:

Posting Komentar