Keanekaragaman adalah kehendak Tuhan sejak penciptaan.
Oleh karena itu segala bentuk pikiran teologis yang bersifat absolut merupakan sebuah pengingkaran terhadap kehendak Tuhan. Kebenaran yang absolut hanyalah Tuhan itu sendiri. Sesuatu yang tidak tecercap oleh akal manusia yang terbatas. Sehingga respon manusia terhadap kebenaran itu relatif sifatnya.
Kejadian 11:1-9 mengisahkan keturunan Nuh yang menetap di bagian selatan Mesopotamia setelah banjir besar. Mereka hidup dalam bahasa dan logat yang sama. Untuk mempertahankan kesatuan tersebut dibangunlah sebuah kota dengan menara yang puncaknya mencapai ke langit. Pembangunan menara bertujuan untuk mempertahankan keutuhan kehidupan mereka sehingga mereka tetap menjadi bangsa yang tidak tercerai berai.
Von Rad menafsirkan pembangunan menara merupakan kehendak untuk memperoleh kejayaan bangsa. Sebuah dosa kesombongan yang mengakibatkan Chauvinisme atau pengagungan terhadap bangsa sendiri sehingga mengabaikan atau memandang rendah kedaulatan bangsa lainnya. Sedangkan C.S. Song mengartikannya sebagai ketakutan manusia untuk melakukan penyebaran. Padahal penyebaran manusia merupakan kehendak Allah sejak mulanya untuk memenuhi bumi (Kejadian 1:28). Penyebaran merupakan salah satu cara rencana keselamatan Allah atas manusia.
Pendapat dua teolog ini menarik untuk disimak berkaitan dengan sikap penghargaan terhadap keanekaragaman yang perlu dikembangkan dalam konteks Indonesia. Jadi motif pembangunan menara dapat berupa dua hal tersebut seperti yang telah diungkapkan. Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan self orientation. Mencari kenyamanan hidup dalam persamaan-persamaan kebiasaan dan cara pandang. Tidak ada yang salah dalam hal ini karena manusia memang mempunyai kebutuhan mendasar untuk hidup dalam komunitas yang mempunyai banyak kesamaan. Yang salah adalah pengembangan paham ini secara ekstrim. Menjadikan cita-cita kesamaan sebagai yang absolut. Menganggapnya sebagai kebenaran mutlak. Akibatnya perbedaan kebiasaan dan pola berpikir dari kelompok yang berbeda dilihat sebagai ancaman atas keberadaan dan kenyamanan diri. Akhirnya perilaku yang dikembangkan menjadi perilaku yang defensif. Menarik diri dari interaksi dengan kelompok lainnya. Maka berkembanglah sikap sosial yang penuh kecurigaan karena setiap kelompok tidak memahami satu dengan yang lainnya. Situasi semacam ini rentan dengan konflik dan kekerasan.
Allah sangat memahami situasi semacam itu. Ia mampu memprediksi kejadian dimasa mendatang dengan pola-pola yang dibangun manusia. Maka penggagalan pembangunan menara Babel merupakan kehendak Allah agar manusia tidak hidup dalam absolutisme. Allah tidak ingin manusia hidup dalam kotak-kotak fanatisme agama maupun budaya yang merupakan hasil dari pemutlakan nilai-nilai tertentu sebagai nilai yang paling unggul dari nilai-nilai yang lainnya. Allah menghendaki manusia hidup secara harmoni berdampingan dengan nilai-nilai lain yang beraneka ragam. Seperti merdunya irama orkestra yang tercipta dari suara-suara yang berbeda.
Orang Yahudi kuno memandang kisah Menara Babel sebagai usaha untuk menjelaskan asal mula keberagaman bahasa di dunia. Sebuah ketakjuban akan keberbedaan yang dipahami sebagai kehendak Allah. Jadi penyebaran manusia karena Allah mengacaukan bahasa yang tunggal tidak dilihat sebagai hukuman namun justru sebagai usaha Allah untuk melanjutkan rencana keselamatannya sejak semula. Ia menghendaki manusia memenuhi bumi.
Penyebaran suatu bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda merupakan cikal bakal dari keanekaragaman budaya dan agama. Para sarjana antropologi mengakui bahwa bahasa merupakan salah satu unsur pembentuk kebudayaan. Maka bahasa yang berbeda-beda akan menciptakan corak kebudayaan yang berbeda-beda pula. Demikian juga halnya dengan keanekaragaman agama yang dibentuk oleh pluralitas bahasa.
Masalah bahasa juga menjadi pergumulan filsafat dan tologi posmodernisme. Mereka menolak keberadaan metanarasi sebagai sebuah nilai-nilai, ide-ide, dan cerita-cerita tertentu yang dijadikan satu-satunya dasar bagi pembentukan kehidupan manusia. Agama adalah respon manusia terhadap pewahyuan Allah yang dirumuskan dalam metanarasi tertentu. Penolakan terhadap metanarasi didasarkan atas keterbatasan sistem bahasa yang diyakini tidak mampu melihat kenyataan (pewahyuan Allah) secara utuh. Melalui sistem bahasa yang terbatas pewahyuan Allah ditangkap manusia secara partikularis. Artinya pengalaman iman seseorang dalam menanggapi pewahyuan Allah dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu respon manusia terhadap pewahyuan Allah itu harus dilihat bersifat relatif.
Yesus juga memaklumkan keanekaragaman ketika berbicara dengan perempuan Samaria. Sebelumnya Perempuan Samaria menduga bahwa Yesus serupa dengan orang Yahudi lain yaitu mengagung-agungkan pusat penyembahan di bait suci Yerusalem (Yoh.4:20). Perempuan tersebut merasa sangat berbeda dengan Yesus karena Dia dan nenek moyangnya mempunyai pusat penyembahan di gunung Gerizim. Konon perbedaan pusat penyembahan inilah yang menjadi salah satu penyebab perseteruan antara orang Yahudi dan orang Samaria selama ratusan tahun. Dalam perseteruan itu orang Samaria dan Yahudi tidak bergaul satu dengan yang lainnya. Tetapi Yesus sebagai seorang Yahudi menghancurkan perseteruan tersebut dengan mendatangi kota Samaria dan bercakap-cakap dengan seorang perempuan Samaria. Ini adalah teladan nyata yang hendak diajarkan kepada murid-muridnya yang secara umum orang Yahudi. Yesus meruntuhkan pusat-pusat penyembahan yang menjadikan seseorang terasing dengan orang lainnya. Ia berkata kepada perempuan itu :
"Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.
Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."
(Yohanes 4:21-24)
Yesus bermaksud mengatakan bahwa sekarang setiap orang dapat menyembah dalam roh dan kebenaran. Yaitu menyembah Allah dengan totalitas kehidupan yang dinyatakan dalam tindakan yang benar (Orthopraxis). Melalui interaksi yang baik dengan sesamanya. Dengan demikian Ia akan memperoleh keselamatan yang datang dari teladan Yesus, seseorang yang datang dari bangsa Yahudi. Sifat keyahudian yang melekat dalam diri Yesus tidak boleh dipandang dengan kacamata Chauvinisme yang menjadikan Yahudi sebagai satu-satunya bangsa yang paling unggul diantara bangsa-bangsa lain dihadapan Allah. Namun sebagai salah satu cara Allah untuk masuk kedalam sejarah dunia. Sepadan dengan cara Allah yang lainnya untuk masuk ke dalam dunia melalui tradisi budaya dan bangsa yang berbeda. Melalui Yesus keselamatan dimengerti tidak hanya terjadi diluar dunia ini namun juga terjadi dalam kehidupan sekarang ini. Keselamatan yang ditawarkan Yesus secara langsung telah dinyatakan dalam setiap tindakan yang diteladankannya. C.S. Song memahami keselamatan dalam arti :
Allah memulihkan keterpecahan-keterpecahan yang ada di dalam diri kita sebagai manusia dan di dalam masyarakat manusia. Ini berarti Allah memulihkan kesehatan dan keutuhan kepada kita sebagai pribadi, sebagai masyarakat, sebagai bangsa-bangsa....Allah tidak pernah memberikan hak monopoli keselamatan kepada siapapun. Malah, keseluruhan keselamatan akan lenyap bila hak monopoli seperti itu dilembagakan kedalam keselamatan Allah.
Dengan kacamata ini maka dimengerti bahwa tindakan Yesus, sebagai orang Yahudi, menjumpai perempuan Samaria merupakan tindakan keselamatan. Pengajarannya agar orang tidak mengkultuskan pusat penyembahan tertentu, yang justru mampu memecah-mecah umat manusia dalam kesombongan agama dan budaya merupakan tindakan keselamatan. Sekali lagi Allah melalui Yesus telah meruntuhkan usaha pembangunan menara Babel untuk kesekian kalinya. Menara yang dibangun untuk menyatukan kesombongan manusia atas kesamaan agama, kesamaan budaya, dan kesamaan bahasa. Allah menghancurkan menara Babel dan membuat mereka beranekaragam agama, budaya, dan bahasa. Supaya setiap orang yang berbeda-beda itu dapat saling belajar menyatukan pecahan-pecahan perbedaan seperti pecahan-pecahan beling yang berbeda dikumpulkan, disatukan secara berdampingan dan membentuk sebuah mozaik yang indah. Sebuah paradoks atas karya keselamatan Allah terjadi. Ia menceraiberaikan kesatuan atas nama kesombongan, namun dipihak lain Ia menyatukan yang tercerai berai karena perbedaan dan menempatkannya untuk hidup berdampingan dalam kasih.
Di dalam setiap keanekaragaman Allah berkarya melaksanakan rencana keselamatannya. Oleh karena itu tugas teologi menurut R. J. Schreiter bukanlah menyampaikan pesan Kristus dalam budaya namun lebih kepada menemukan Kristus yang telah aktif dalam budaya. Jikalau Kristus telah ada dalam budaya itu maka pesan-pesanNya juga telah terkandung didalamnya. Maka suatu komunitas lokal harus bersedia menghargai dan mendengarkan budayanya agar dapat memahami pengalamannya di masa lampau bersama Kristus. Ia harus mampu menggali dan mengakui tanda-tanda kehadiran Kristus ditengah-tengahnya. Bagi orang Kristen cara-cara untuk memahami tanda-tanda Kristus yaitu melalui tradisi hikmat dalam Alkitab. Ini adalah suatu cara baru dalam melihat Kristus sebagai hikmat Allah yang telah melakukan kegiatan penyelamatannya dalam suatu budaya bahkan dalam agama yang berbeda.
Barangkali orang akan berpendapat bahwa bagaimana mungkin Kristus sudah ada dalam setiap budaya padahal budaya sudah ada sebelum Yesus Kristus lahir. Dalam hal ini Kristus harus sedikit dibedakan dengan Yesus sejarah. Yesus sebagai Kristus telah ada sejak awal penciptaan dunia. Ia telah aktif bersama-sama dengan Allah untuk menciptakan kehidupan dunia ini. Ia jugalah yang telah meniupkan nafas kehidupan kepada manusia. Dari sanalah kemudian kebudayaan dimulai bersama dengan nafas Kristus itu sendiri. Bukankah Kristus sendiri adalah Roh Allah ? Dan Yesus sejarah adalah perwujudan dari Roh Allah, Roh yang sama yang telah mengawali kehidupan manusia.
Namun demikian budaya dan agama yang beragam itu juga tidak terlepas dari dosa. Karena budaya atau agama itu sendiri merupakan karya dari manusia yang berdosa. Oleh sebab itu perlu melihatnya secara kritis. Mengembangkan nilai-nilai budaya yang selaras dengan rancangan keselamatan Allah dan menolak nilai-nilai yang bertentangan dengannya. Dalam hal ini teladan hidup Yesus Kristus dapat menjadi tolak ukur secara khusus bagi orang Kristen untuk memahami tradisi hikmat dalam Alkitab dalam menemukan Kristus dalam budaya ataupun agama yang berbeda-beda.
Belum terlambat untuk memulai suatu hubungan yang baru diantara sesama manusia dalam agama dan budaya yang beranekaragam. Gereja perlu mengali pemahaman-pemahaman teologis yang terbuka terhadap keberbedaan agama dan budaya. Mereka yang berbeda adalah teman bukan setan. Mereka adalah sesama manusia. Ketika Yesus mengajar tentang kasih kepada sesama manusia maka salah seorang muridnya bertanya ”Dan siapakah sesamaku manusia ?” Lalu yesus menceritakan kisah tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:30-37). Ada seorang pedagang Yahudi dirampok. Ia hampir mati namun tiada seorangpun yang menolong. Bahkan Imam maupun calon Imam sebagai sesama orang Yahudi juga enggan menolongnya. Kemudian datanglah seorang Samaria, bangsa dari musuhnya. Orang Samaria tersebut menolong orang Yahudi hingga tuntas. Dari cerita tersebut Yesus hendak mengajarkan kepada murid-muridnya -- yang umumnya adalah orang Yahudi -- bahwa Orang Samaria meskipun berbeda budaya dan agama adalah sesama manusia. Oleh karena itu kasihilah sesamamu itu seperti dirimu sendiri (Lukas 10:27).
Yesus telah merombak Iman menara Babel. Sebuah kecendrungan iman yang dimiliki oleh manusia beragama apapun juga. Iman menara Babel mengembangkan kejayaan diri. Menganggap tradisi sendiri lebih benar daripada tradisi yang lainnya. Iman menara Babel penuh dengan kekerasan karena memaksakan kehendak. Iman menara Babel penuh dengan pertumpahan darah karena menganggap yang lain sesat. Lalu yang sesat dan yang berbeda itu dimusnahkan, digantung dan dijadikan tiang obor. Maka sebelum Iman menara Babel itu menghancurkan peradaban manusia, iman semacam itu harus dirombak terlebih dahulu, yaitu dengan cara menyadari pentingnya pemahaman teologi yang terbuka terhadap keanekaragaman agama dan budaya. Sekali lagi jangan mencoba membangun kembali iman menara Babel atau Allah sendiri akan turun untuk merombaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar