Jumat, 11 Desember 2009

KEHILANGAN ARAH GEREJA ?

OLeh Iwan Firman Widiyanto, M.Th.

Banyak pelayan gereja tiba-tiba saja merasa kehilangan arah. Seperti seorang yang tersesat di tengah hutan tidak tahu hendak menuju kemana untuk mencapai tujuan. Bahkan yang dinamakan tujuanpun kadangkala menjadi lupa. Serasa otak menjadi kosong karena terserang kepikunan. Hal semacam ini seringkali dialami oleh para pegiat gereja. Entah itu terjadi karena kesibukan rutinitas gereja atau kepenatan menghadapi masalah-masalah yang tidak perlu sehingga menghantarkan seseorang itu dalam taraf kejenuhan yang luarbiasa. Saat itulah arah yang jelas menjadi kabur dan bahkan tak terlihat karena tertutup awan gelap gulita kehidupan.

Wejangan dari John Stott dalam bukunya The Living Church [2007] cukup mampu menyeruak tirai gelap yang menyelubungi arah bergereja. Gereja harus menjadi gereja yang hidup, demikian Stott berpendapat. Gereja perlu melongok kebelakang belajar pada kehidupan jemaat mula-mula seperti yang tercatat didalam Kisah Para Rasul 2:41-47. Sebuah gereja yang sangat dinamis dan menggairahkan. Hingga Alkitab mencatat perkembangannya yang sangat pesat “Tiap-tiap hari Allah menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan“(ay.47).

Gereja Yang Belajar

Jemaat perdana adalah jemaat yang memiliki antusiasme untuk mendengarkan pengajaran para rasul. Dikatakan bahwa jemaat “bertekun dalam pengajaran” (ay.42) itu berarti ada gairah yang luarbiasa untuk belajar memahami dan mengerti Firman Tuhan. Kehendak kuat untuk terus belajar akan mendukung proses pendewasaan karakter mental dan rohani jemaat. Sehingga jemaat dapat berpikir kritis dan secara mandiri mampu menghadapi segala tantangan kehidupan. Jemaat yang mandiri secara teologi tentunya akan menjadi energi tersendiri untuk mencapai kemajuan gereja secara optimal.

Gereja Yang Mengasihi

Gereja yang hidup juga diselimuti oleh iklim kasih yang kuat. Hal itu ditunjukkan oleh jemaat perdana. Mereka membagi-bagikan harta mereka kepada saudara yang lain yang membutuhkan (45). Ikatan kekeluargaan mereka menjadi sangat kental ditunjukkan dengan perjamuan bersama yang dilakukan di rumah masing-masing dengan tulus hati, bukan dengan beban berat. Apa yang harus mereka berikan atau persembahkan untuk komunitas di lakukan dengan penuh kegembiraan.

Kehidupan yang sungguh menarik karena egoisme tidak mendapatkan tempat didalamnya. Orang saling memperhatikan dan mempedulikan. Saling membantu dan menopang. Hidup terasa lebih ringan karena tidak merasa berjalan seorang diri meski kenyataan hidup sangat mengeringkan tulang-belulang.

Gereja Yang Beribadah

Tiap-tiap hari mereka berkumpul dalam bait Allah untuk beribadah. Seperti ibadah bukanlah menjadi beban. Tetapi sebaliknya menjadi sebuah kesukaan. Hati terasa sangat rindu untuk menghadap rumah Tuhan (ay.46). Menjadi refleksi bagi gereja masa kini bagaimana menghadirkan ibadah yang benar-benar hidup. Mampu menyentuh dan mendorong hati jemaat untuk menyatu dengan yang Ilahi. Ibadah yan menimbulkan rasa takjub syukur dan kekaguman kepada sang pemelihara kehidupan.

Gereja Yang Mengabarkan Injil

Gereja yag hidup juga merupakan gereja yang tidak lupa untuk mengabarkan Injil. Jemaat perdana secara kuantitas bertambah karena aktifitas pekabaran Injilnya yang berhasil. Injil adalah kabar sukacita. Hidup dari jemaat sendiri merupakan pekabaran Injil yang sangat efektif. Alkitab mencatat bahwa kehidupan jemaat perdana sangat disukai oleh semua orang (47). Itu artinya kehidupan jemaat membuat orang lain sukacita dan senang. Mungkin jemaat perdana dilihat dari karakteristiknya yang ringan tangan dan peduli kepada orang lain itulah yang menyentuh dan akhirnya menarik orang untuk bergabung didalam komunitasnya. Jemaat perdana menginjil tidak hanya dengan kata-kata namun juga melalui hidup yang berbuah baik bagi orang lain. Perbuatan baik yang dilakukannnya itulah yang justru berbicara banyak dan sangat meyakinkan orang untuk menjadi satu tubuh bersama dengan Kristus.

Paling tidak empat arah hasil perenungan John Stott ini mampu menyegarkan dan menggairahkan para pegiat gereja untuk menata ulang kehidupan jemaatnya. Semoga saja menjadi gereja yang benar-benar hidup bukan gereja yang kelihatannya hidup tetapi mati, gersang , kering dan mengerikan. Hidup dan berjalan tetapi mati, Hiiiiii.... seperti Mumi.